Penulis: admin |
Jumlah PAD Natuna pada tahun 2018 meningkat dari Rp 61 miliar di tahun 2017 menjadi Rp 74 miliar. Perolehan terbesar PAD berasal dari konstribusi Bank Riau mencapai Rp 4 miliar pertahun. Termasuk penambahan khusus alokasi dana BOS sebesar Rp 11 miliar lebih. Anggaran tersebut, sebelumnya tidak masuk kedalam penganggaran pendapatan lain-lain yang sah. Pertambahan angka juga diperoleh dari pendapatan hasil yang dikelola melalui BLUD pada setiap Rumah Sakit dan Puskesmas Se-Kabupaten Natuna. Perolehan PAD dari hasil penarikan retribusi yang dilakukan langsung oleh SKPD masih rendah “
Natuna, (KP), – Sebagaimana diketahui, Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Kepri, sesuai dengan ketentuan PMK Nomor 50/PMK 07/2017 dan PMK Nomor 112/PMK 07/2017 telah menganggarkan belanja insfrastruktur diluar kegiatan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 27,68 persen atau Rp 138,09 miliar diatas ketentuan yang ditetapkan yaitu, sebesar 25 persen atau Rp 67,4 miliar dari total APBD sebesar Rp. 1,015 triliun lebih. Pernyataan ini disampaikan oleh Suryanto, Kepala Bidang Penganggaran Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPAD) Kabupaten Natuna Provinsi Kepri.
Suryanto mengatakan struktur APBD yang terbanyak diketahui berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) dan dana perimbangan. Sayangnya, dana tersebut terpengaruh oleh turun naiknya harga minyak. Ketika harga minyak turun, secara otomatis dana perimbangan juga ikut turun. “ Biasanya kita terima DBH Rp 300 – 400 miliar, sekarang hanya Rp 129 miliar, turun sekitar Rp 200 miliar lebih. Jadi ini bukan kesalahan dari kita, karena dana perimbangan itu, kewenangan Pemerintah Pusat, mereka bisa melakukan penundaan penyaluran dana perimbangan kapan saja, ini bukan hanya di Natuna, tetapi diseluruh Provinsi Kepri, “ ujar Suryanto.
Menurut Suryanto, meski terjadi pengurangan baik DBH maupun dana perimbangan, namun jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada tahun 2018 diketahui meningkat. Pertambahan angka terlihat dari pengangaran Rp. 61 miliar di tahun 2017, menjadi Rp. 74 miliar pada tahun 2018. Peningkatan terjadi karena adanya penambahan khusus dana BOS yang sebelumnya tidak masuk kedalam penganggaran pendapatan lain-lain yang sah. Peningkatan juga terjadi disisi pajak daerah, dari target sebesar 43 persen.
Sayangnya penarikan retribusi, sampai saat ini masih belum ada peningkatan. “ Kalau retribusi sama sekali tidak ada. Realisasinya sekitar 50 persen, dari Rp. 500 miliar yang kita targetkan, hanya terealisasi Rp. 200 miliar lebih saja. Kemudian dari sisi pendapatan lain-lain juga tidak terlalu signifikan, dimana pada tahun 2017 kita anggarkan Rp. 61 miliar, tahun 2018 Rp. 74 miliar. Disitu terdapat dana khusus BOS yang dimasukan ke PAD hampir Rp. 11 miliar. Nah, ini sesuai dengan surat edaran dari Mendagri, bahwa penganggaran BOS yang diterima oleh Pemerintah Provinsi, masuk ke lain-lain pendapatan yang sah “ sebut Suryanto.
Kepada Koran Perbatasan Suryanto menjelaskan, sumber pendapatan juga berasal dari hasil kekayaan dipisahkan, seperti pernyataan modal atau hasil usaha yang dibagikan kepada pemegang saham. “ Kemudian ada depiden, seperti di Bank Riau konstribusinya sangat besar buat kita. Ketika kita mendepositokan uang ke Bank, dan uang tersebut belum dimanfaatkan. Memang banyak orang bilang ini melanggar aturan. Tetapi pada PP Nomor 39 Tahun 2007 kita diberikan kewenangan untuk melakukan penepatan uang selama uang itu, belum digunakan. Pemerintah Pusat tahu itu, karena mereka melihat langsung prediksi dan realisasi belanja yang kita laporkan setiap bulan melalui webside. Kalau kita melakukan pelanggaran, maka mereka akan beri sangsi berupa penundaan DBH “ jelas Suryanto.
Lebih jauh lagi Suryanto memastikan, pendapatan terbesar untuk PAD diketahui berasal dari konstribusi yang diberikan oleh Bank Riau. “ Bicara sumber terbesar PAD kita, iya berasal dari Bank Riau. Karena mereka sudah memberikan konstribusi ke kita hampir Rp. 60 miliar lebih. Dalam RPUS kemarin, pernyataan modal dari kita sejak tahun 2001 sampai sekarang baru sekitar Rp. 23 miliar. Mereka sudah memberikan konstribusi ke kita hampir Rp. 4 milira pada setiap tahunnya. Nah, uang ini langsung masuk ke Kas Umum Daerah “ tutur Suryanto.
Pertambahan angka, lanjut Suryanto juga diperoleh dari pendapatan hasil yang dikelola oleh BLUD di Rumah Sakit. “ Kemudian melihat Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 Tentang Pedomen Pengelolaan Keuangan BLUD, bagaimanapun itu, masuk dalam struktur APBD. Ada juga yang namanya dana Kafitasi, JKN, disetiap Puskesmas. Walau ini langsung di transfer ke BLUD, tetapi proses penganggarannya tetap masuk dalam struktur APBD. Artinya, Perda masuk, ke Perbup juga masuk. Karena ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam laporan keuangan daerah. Termasuk pendapatan lain-lain yang sah seperti Jasa Giro “ terang Suryanto, menjawab Koran Perbatasan, Selasa, (13/2) kemarin di ruang dinasnya.
Selain dari itu, tutur Suryanto, ada juga perolehan dari sisi kewenangan yang diambil alih, seperti pajak pertambangan. “ Pada UU 28 itu, yang dihapus hanya pasal Nomor 157, 158 ayat 2 sampai 9, dan pasal 159. Secara otomatis, kalau yang dihapus, tidak menghapus 11 item pajak. Maka pajak mineral bukan logam, tetap masih menjadi kewenangan kita. Misalnya, ada perusahaan besar membangun proyek APBN. Mereka mengadakan pembangunan jalan menggunakan tanah timbun. Tanah itu, berasal dari daerah kita, jadi ini boleh kita kenakan pajak. Tetapi, kalau tanah itu, mereka bawa dari luar, tidak boleh kita tarik pajaknya. Karena pada UU Nomor 28 tahun 2009, dijelaskan bahwa pajak mineral, logam dan bukan logam kembali ke daerah, “ imbuh Suryanto.
Sedangkan PAD dari hasil penarikan retribusi yang dilakukan langsung oleh SKPD menurut Suryanto masih relatif. “ Penarikan langsung oleh dinas teknis terdiri dari retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Retribusi jasa umum misalnya kesehatan, kalau jasa usaha seperti pelabuhan, kemudian retribusi perizinan tertentu seperti IMB. Kemudian dari 11 item pajak itu, kita harus lihat juga dimananya yang naik. Komposisinya terlalu panjang untuk dijelaska, salah satunya seperti PPJ Non PLN pengoperasian mesin yang didatangkan sendiri, dan mereka harus membayar pajaknya. Kalau dari hasil iuran daerah, kita hanya ada pajak restoran, pajak makan minum, dan pajak hotel, “ tutup Suryanto. (Amran).