Penulis: admin |
Pemda Natuna Diminta Segera Membuat Perda Tentang Pengembangan Wisata
NATUNA – Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Forum Masyarakat Miskin (Formis) Kabupaten Natuna, Ronny Kambey meminta agar Pemerintah Daerah Natuna secepatnya menyiapkan payung hukum tentang wisata alam Natuna.
“Jangan sampai ini dimiliki oleh orang luar. Maksud saya Pemkab Natuna sudah harus membuat Perda tentang icon itu. Dalam Perda itu, salah satunya memuat aturan bagaimana supaya jangan sampai dimiliki oleh orang bermodal besar seperti investor. Kalau investor ingin masuk buka usaha, welcom tapi mereka harus sistem kontrak seperti di Batam,“ ujar Ronny.
Ronny menyebutkan di daerah lain, investor maupun pemodal besar tidak pernah diizinkan menguasai lahan sebagai ladang usaha mereka. Investor, kata Ronny hanya diperbolehkan menyewa atau mengontrak tanah milik masyarakat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah setempat.
“Coba kita lihat Batam, susah pengusaha luar mahu memiliki lahan. Mereka hanya diperbolehkan mengontrak misalnya selama 50 tahun. Setelah 50 tahun, kembali ke daerah, dan dia tidak boleh memilikinya. Jadi aset daerah itu, utuh milik masyarakat. Kedepan tinggal mereka melanjutkan, kalau memang itu exsis. Makanya pemerintah harus membuat aturan-aturan tentang itu,“ sebut Ronny.
Sejauh ini kata Ronny, Pemerintah Daerah Natuna terkesan hanya mempromosikan objek wisata tersebut. Realisasi pembangunan tidak terlihat. Lebih memprihatinkan lagi wisata yang ada belum di Perdakan.
“Sekarang hanya berhasil pada marketing mempromosi suatu kawasan. Bukan berarti kawasan itu, sudah dikelola oleh daerah. Seharusnya pemerintah sudah punya pelening awal. Bisa saja dengan cara membebeskan lahan. Jadi seperti Batu Sindu dan Senumbing itu, jangan dikira tidak ada orang punya. Terus terang mereka sudah tergiur ingin jual keorang luar. Seperti Pulau Senua, boleh orang luar bangun, katakanlah Resort Pulau Senua. Karena itu, termasuk pulau terdepan. Kemaren mahu dibebaskan oleh Pemda, harusnya jangan ditunda. Jadi memang harus dibebaskan, sebelum orang luar ambil alih,“ imbuh Ronny.
Sebagai anak daerah yang mencintai kampung halamannya, Ronny memastikan tingkat promosi objek wisata andalan Natuna sangat tinggi. Hampir semua pihak ikut terlibat mempromosikan keindahan alam. Baik secara sengaja maupun sebatas sensasi, alhasil dunia mulai melirik.
“Levelnya sudah tingkat nasional. Terutama exspos Pulau Senua, belum lagi yang lain. Cuma realisasinya tidak ada. Apalagi melihat ada bataliyon bangun markas. Investor jadi agak sedikit gimana gitu. Jadi kalau arah sana, mereka mungkin jadi enggan, paling mereka melirik daerah Bunguran Selatan. Nah, ini menyangkut tata ruang yang harus diperjelaskan oleh Pemda,“ tegas Ronny.
Menurut Ronny, seharusnya pemerintah sudah mendekati pemilik lahan. Membicarakan tetang renca pemerintah terkait pembangunan wisata andalan.
“Tugas pemerintah pertama mencegah hal seperti itu. Kedua pemerintah secara bertahap setiap tahun harus menyisipkan anggaran untuk membenahi lokasi-lokasi itu. Ketiga mereka harus memberi support ke masyarakat. Misalnya saya punya lahan di Batu Sindu, Pak Ronny tolong kelola Batu Sindu untuk tahap awal, seterusnya bagaimana terpulang ke Pak Ronny. Yang penting daerah kita punya icon, mestinya begitu. Jangan pemerintah punya anggaran dia mahu buat sendiri. Kalau begitu salah satu monopoli, tidak boleh. Kita harus beri kesempatan kepada masyarakat mengelola daerahnya. Beri mereka modal, katakanlah pematangan lahan, dan lain sebagainya. Sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Nanti tinggal bagaimana membangunnya,“ sebut Ronny.
Ronny menegaskan, sejauh ini pemerintah bagaikan pepatah tong kosong nyaring bunyinya. Banyak bicara realisasi tidak ada. Selain itu, pemerintah juga disebutnya seperti bermain-main, alhasil bangunan setengah jadi.
“Banyak cerita, tapi hanya cerita di koran. Nyatanya tidak pernah terealisasi kepada masyarakat. Terutama masyarakat lokal. Ekonomi kreatif itu, memberi pelajaran kepada masyarakat supaya kreatif. Bukan kreatif untuk minta-minta. Kalau saya lihat setengah-setengah, antara mahu dan tidak. Mungkin dalam hati, kalau bisa biar aku yang ngelola, seperti menjadi suatu kebanggaan bagi Kepala Dinas. Contoh Pantai Tanjung, dulu Erson bangun WC, tapi masih amburadul. Tidak sempurna, coba buat yang sempurna, puluhan tahun masih tetap exsis. Serahkan perawatannya pada masyarakat. Supaya kepercayaan diri masyarakat itu ada,“ tutup Ronny.
Syaifullah : “ Belum Terlihat Mungkin Karena Pemerintah Tidak Fokus “
Pandangan serupa tentang lambatnya pembangunan wisata juga di sampaikan oleh politisi Partai Hanura, Syaifullah. Kata Syaiful, rencana pembangunan yang tidak terfokus menjadi salah satu penyebab terbiarnya panorama alam tersebut. Sebab, segala sesuatu capaian tidak terlepas dari ketulusan niat.
“Kenapa belum terlihat, menurut saya mungkin karena pemerintah kita belum fokus ke arah pembangunan itu,“ ujar Syaiful.
Menurut, politisi yang sudah duduk di bangku perlemen itu, penyebab lain juga di karenakan tidak sehatnya komunikasi antar instansi. Sejauh ini, dinas terkait terkesan jalan sendiri. Alhasil, melahirkan capaian pembangunan yang tidak terarah.
“Kemudian, koordinasinya kurang. Terkadang mereka ada kegiatan kita di DPRD tidak di libatkan. Seharusnya mereka libatkan juga kita, biar hasilnya menjadi lebih baik. Contoh, kemarin mereka bentuk tim, tapi kita tidak di libatkan,“ sebut Syaifullah.
Sambil tersenyum, lelaki yang berhasil meraup suara terbanyak di dalam partainya pada pemilu legislatif tahun 2014 silam. Memastikan bahwa pembangunan wisata alam karunia illahi itu, tidak akan bisa terwujud jika dikerjakan atas dasar pemikiran sendiri.
“Kalau kita berjalan sendiri-sendiri pembangunan ini tidak mungkin bisa tercapai. Harus kita dudukan dulu. Dinas Pariwisata buat dulu rencananya, berapa anggarannya, kemana arahnya, seperti apa bentuk pembangunan wisatanya, dimana daerahnya. Kemudian ajukan ke DPRD, kita bahas, dan kita putuskan bersama,“ imbuh Syaifullah.
Meski tidak semudah membalik telapak tangan. Lebih jauh lagi, lelaki mengaku kurang memahami tentang arah kebijakan pembangunan wisata alam kampung halamannya. Kepada koranperbatasan.com dikediamannya menegaskan. Jika semuanya sudah tertata rapi. Mulai dari arah pembangunan, jumlah anggaran, kesiapan status lahan, hingga sampai penetapan payung hukumnya. Tidak menutup kemungkinan seluruh objek wisata Natuna bisa berkembang.
“Kita punya alam indah. Harus di akui lebih indah dari daerah lain. Tinggal kita poles sedikit saja. Kalau kita punya niat baik. Kemudian kita fokuskan bersama. Saya yakin, walaupun lambat pasti akan berhasil,“ terang Syaifullah.
Usai berbagi pandangan, dan menceritakan sedikit lika-liku perjalanan hidup. Hingga sampai kembali mengabdi ke tanah kelahiranya. Wakil rakyat, asal daerah pemilihan Bunguran Barat, Bunguran Utara, Pulau Tiga, dan Pulau Laut itu, berharap agar semuanya bisa menyatukan hati, dalam membangun Natuna.
“Harapan saya mari kita satukan niat. Kita bangun negeri ini bersama. Fokus pada satu pandangan, dan satu tujuan mulia. Kita lahirkan pembangunan yang sehat. Sebagai bekal buat anak cucu kelak,“ tutup Syaifullah.
Marzuki : ” Mahalnya Harga Tiket Pesawat Tidak Ada Kaitan Dengan Pembangunan Wisata Natuna “
Minimnya kunjungan wisatawan ke Natuna bukan dikarenakan mahalnya harga tiket pesawat. Tetapi karena lambatnya pengembangan kawasan wisata itu sendiri dan tidak tersedianya fasilitas pendukung seperti, penginapan khusus, permainan air, arena parkir, pusat jajanan, WC, dan transportasi khusus yang membawa wisatawan menuju lokasi.
“Pengaruh pengembangan wisata dengan mahalnya harga tiket saya justru berpikir terbalik. Karena ada banyak tempat wisatanya bisa maju, harga tiketnya tidak murah, apalagi yang berada diluar negeri,“ sebut Marzuki, SH Anggota DPRD Kabupaten Natuna Provinsi Kepri Fraksi Gernas.
Kepada koranperbatasan.com Marzuki mengatakan persoalan hari ini bukan pada harga tiket yang terbilang mahal, tetapi bagaimana dinas terkait mampu menciptakan daya tarik sehingga wisatawan tergerak hatinya berkunjung ke Natuna.
“Artinya hari ini yang paling penting dan sangat perlu adalah bagaimana wisata Natuna ada daya tariknya. Jadi bukan masaalah harga tiket yang mahal. Kalau memang wisatawan tertarik ingin berlibur, mereka pandang apa sih harga tiket itu. Tidak perlu jauh-jauh, contoh orang masuk Lagoi saja berapa besar biaya. Tetapi kenapa mereka tetap datang, artinya kita lengkapi dulu fasilitas yang ada di objek wisata itu,“ ujar Marzuki.
Secara pribadi, Marzuki mengakui tingkat promosi wisata Natuna sudah sangat luar biasa. Dengan promosi yang bagus membuat orang tertarik untuk datang. Sayangnya upaya yang dilakukan oleh dinas terkait masih belum sempurna.
“Kita lihat promosi sudah luar biasa bahkan ada even wisata yang sudah dan akan dibuat. Promosi bagus itu membuat orang tertarik untuk datang, tetapi setelah mereka datang yang lahir adalah kekecewaan. Mengapa demikian, karena tidak sesuai dengan yang di promosikan. Buktinya fasilitas yang ada tidak disediakan, insfrastruktur dasarnya tidak mendukung. Awalnya, mereka lihat pantainya bagus, sekali mereka datang mobilnya susah, permainan air tidak ada, penginapan atau hotel tidak ada, kuliner jualan tidak ditata rapi, tempat parkir dimana, kamar mandi dan WC susah dicari,“ cetus Marzuki tersenyum.
Terlepas dari persoalan itu, Marzuki melihat lima sektor pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat juga perlu dipertanyakan. Sebab, hanya satu sektor yang telihat benar-benar berjalan. Padahal salah satu dari lima pilar itu, adalah pengembangan sektor pariwisata.
“Nah, hari ini kita melihat sektor pertahanan sudah jalan. Tapi sektor lainnya mana. Saya berpikir memang tidak cukup kalau hanya melewati stakeholder untuk dapat membangun wisata ini. Sudah belasan tahun kita menjadi kabupaten, satupun investasi swasta tidak ada yang masuk kesektor pariwisata. Artinya kita tidak mampu meyakinkan mereka. Padahal faktor alamnya sudah mendukung, cuma tidak di poles saja,“ tegas Marzuki.
Menyikapi harga tiket pesawat yang disebut oleh banyak kalangan terlalu mahal. Wakil rakyat pembawa suara hati masyarakat enam kecamatan itu, berpendapat sudah berada diambang batas sebagaimana ketetapan berlaku.
“Sebenarnya harga tiket itu diambang batas yang sudah ditetapkan ada level bawah, ada level atas. Ada UU yang mengatur. Dalam hal ini, maskapai tidak menyalahi ketentuan. Kalau mereka menyalahi aturan itu, tentu bisa diberi peringatan. Persoalan hari ini adalah persaingan, artinya berlaku hukum pasar. Ketika hanya dua maskapai ini yang bergerak dengan sendirinya mereka bisa memainkan harga tersebut. Tergantung mereka ingin menggunakan harga level atas, menengah atau seperti apa, karena mereka juga berbisnis. Mereka tahu persis kapan orang akan ramai berangkat, dan harganya tetap mahal,“ terang Marzuki.
Perbedaan harga menurut Marzuki kerap terjadi, dan tidak bertahan dengan satu level tertentu. “ Contoh pada bulan Januari-Februari, saya melihat harga berbeda, ada yang Rp1 juta, ada juga Rp900 ribu. Artinya mereka sangat paham hukum pasar dimaksud. Lalu bagaimana cara menurunkan harga tiket, kalau di subsidikan tidak mungkin, bisa membengka APBD kita. Satu-satunya jalan adalah peningkatan ekonomi masyarakat. Artinya mereka ke Natuna ada tujuan tertentu. Singkat cerita, tidak banyak yang berkunjung ke Natuna, belum ramai penumpang, dan membuat harga tiket akan tetap terus mahal,“ beber Marzuki.
Lebih jauh lagi, Marzuki menyebutkan idealnya harga satu buah tiket untuk sekali penerbangan apakah Natuna-Tanjungpinang, Natuna-Batam, maupun Natuna-Pontianak pada level 700-800 ribu.
“Perjalanan satu jam, seperti ke Jakarta 1 jam 20 menit bisa di angka 700-800 ribu. Untuk Natuna mungkin bisa di angka seperti itu. Perbedaan harga juga terjadi didaerah lain seperti Batam – Jakarta pada hari libur terkadang harga tiket mencapai Rp 1,7 juta. Padahal di hari biasa hanya berkisar 400-700 ribu saja. Nah, untuk Natuna yang sering berangkat hari ini kalau kita katakan pelat merah sah-sah saja. Kalau masyarakat umum bisa dihutung jari, paling pengusaha yang memang betul-betul sudah mampu,“ pungkas Marzuki.
Sebagai wakil rakyat, Marzuki menegaskan mahalnya harga tiket burung besi tersebut bukan dikarenaka persoalan batas wilayah, tetapi minimnya keluar masuk orang baik dari Natuna maupun luar Natuna.
“Menurut saya persoalan harga tiket ini bukan pada regulasinya. Bukan pula pada persoalan Negara Singapore yang memiliki batas wilayah. Tetapi dikarenakan kurangnya kunjungan orang dari luar, dan kurangnya orang Natuna berkunjung keluar. Sehingga berlaku hukum pasar, dimana semakin sedikit penerbangan, ketika permintaan banyak, tentu harga akan menjadi naik. Cuma hari ini kita belum pernah mencobanya. Kita tentu memerlukan data seberapa sering, dan seberapa banyak arus keluar masuk orang “ beber Marzuki.
Sebelum mengakhiri, melalui koranperbatasan.com Marzuki berharap terciptanya kemajuan disektor pariwisa. Dengan berkembangnya sektor tersebut, akan memancing banyak orang untuk berkunjung ke Natuna. “ Secara otomatis setelah ramai pengunjung ke Natuna, tentu akan membuat perekonomian masyarakat jadi meningkat. Kuatnya ekonomi masyarakat, akan mengundang masuknya maskapai lain. Ketika maskapai itu banyak otomatis persaingan harga tiket juga akan terjadi. Kemudian kita bisa memilih ingin berangkat menggunakan maskapai yang mana. Tetapi seandainya itu tidak terjadi, dan tetap bertahan dengan dua maskapai, harga tiket akan tetap menjadi dilema,“ tutup Marzuki.
Sekda : “ Membangun Pariwisata Tidak Cukup Kalau Hanya Menghandal APBD “
Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten Natuna, Wan Siswandi, S.Sos, M.Si mengakui bahwa sejauh ini belum ada penarikan langsung dari Dinas Pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Karena belum ada pembangunan maupun pengembagan usaha yang dihasilkan oleh dinas terkait bersumber dari APBD Natuna.
“Mengenai pariwisata, memang selama ini tidak ada pembangunan yang menggunakan APBD. Sehingga tidak ada retribusi yang bisa kita ambil. Contoh, pembangunan didepan Masjid Agung Tourism Information Center itu, berasal dari Pemerintah Pusat. Kemudian di Batu Kasah itu, swadaya masyarakat. Jadi untuk sementara ini belum ada yang bisa kita tarik dari sisi pariwisata,“ terang Siswandi.
Menurut Siswandi, membangun pariwisata Natuna tidak semudah membalikan telapak tangan, karena ada banyak proses yang harus dilalui.
“Memang ada anggaran daerah yang mereka pakai seperti kegiatan pekan exspo, dan nanti akan ada kegiatan seni berpusat di Natuna, program ini untuk sekala nasional bahkan Asean. Nah, jumlah anggarannya cuma berapalah. Jadi tidak ada yang namanya menghabiskan anggaran. Kalau kita bicara banyak dan sedikit itu relatif, tetapi yang perlu kita ketahui membangun pariwisata bukan semudah kita menjual goreng ubi. Begitu di goreng kita sudah bisa langsung jual,“ ungkap Siswandi.
Kepada koranperbatasan.com, Siswandi memastikan apa yang telah direncanakan oleh dinas terkait tetap terus berlanjut, meskipun perlahan-lahan. Karena dinas terkait menurutnya sudah membuat konsep tentang pengembangan pariwisata Natuna.
“Kalau orang bilang pariwisata tidak jalan, menurut saya ini sudah jalan cuma pelan-pelan. Kita bisa lihat didepan Masjid Agung itu, cuma belum selesai. Kemudian Pak Erson ada membuat program pengembangan wisata di Desa Sepempang, rencananya mahu dibuat semacam marina, cuma belum jalan. Kenapa, karena kita tidak punya anggaran cukup jadi bagaimana mahu bangun,“ katanya memastikan.
Lebih jauh lagi, Siswandi menyebutkan, sejauh ini Pemerintah Daerah bersama dinas terkait sudah berusaha mempromosikan keindahalan alam yang dimiliki Natuna. Hanya saja jajakan tersebut masih belum membuahkan hasil.
“Kita hanya bisa menjualnya, kecuali kita punya anggaran cukup, bisa langsung dibangun dan pasti akan cepat terlihat. Selama ini kita tergantung orang, kalau orang mahu, iya jalan, sedangkan ingin bangun hotel saja susah. Padahal kita sudah minta tolong seperti dengan Aston, dan masih banyak lagi perusahaan lainnya. Masaalahnya mereka bilang belum, terus kita harus bagaimana. Padahal menurut kita, ini sudah layak, tetapi menurut mereka belum, kalau sudah prospek mungkin mereka akan datang,“ sebut Siswandi.
Siswandi menegaskan, jika pembangunan wisata bertumpu pada angaran Pemerintah Daerah, kemungkinan keinginan tersebut akan sulit terwujud. Karena kehadiran pemerintah adalah mempersiapkan insfrastruktur dasar penunjang dan mempromosikannya agar mudah dikenal.
“Makanya dari Dinas Pariwisata itu, diadakanlah event, dimasukan dalam agenda nasional. Seperti lomba bersepeda keliling pulau bunguran. Nah, programnyakan sekala nasional, bahkan Asean. Salah satu faktor penarik orang supaya mahu datang melihat Natuna. Kalau bicara fasilitas, kita membutuhkan bantuan sewasta. Pemerintah paling bersifat pancingan saja, seperti di Bali semuanya dibangun oleh sewasta, mana ada pemerintah. Kalau berharap semuanya dari pemerintah, iya mana mampu,“ tegas Siswandi.
Sebelum mengakhiri, Siswandi menjelaskan pengembangan wisata secara utuh masih bertantangan dengan budaya lokal. Karena kesiapan masyarakat terhadap fasilitas yang harus disiapkan pada tempat wisata tersebut masih awam.
“Berbicara pembangunan pariwisata kita juga perlu sosialisasi ke masyarakat. Kita juga perlu kegiatan, termasuk even, imbasnya tidak bisa secepat keinginan. Nah, ini memang harus menjadi agenda pariwisa, misalnya setahun berapa kali event yang bersifat nasional. Supaya orang mahu datang kemari. Kita ingin membangun wisata, maaf cakap tempat hiburan saja ditutup, karena cultur budaya kita. Orang turis, mereka kalau sudah di pantai biasanya pakai celana tembus pandang, takutnya masyarakat tidak siap. Kalau ditempat lain seperti Bali, budayanya sudah bisa menerima itu. Kalau kita buat seperti itu, misalnya di Pantai Tanjung, turis terbaring seperti penyu, menggunakan pakaian seadanya, bisa marah tokoh masyarakat,“ tutup Siswandi.
Erson : “ Tugas Kami Hanya Menjembatani dan Mempromosi “
Menanggapi persoalan yang terjadi, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna Provinsi Kepri, Erson Gempa Afriandi mengatakan sudut pandang setiap orang tentunya tidak ada yang sama. Tegantung sejauh mana orang itu mengetahui kebenaran, dan mengikuti perkembangan. Karena pihaknya tetap terus berusaha bagaimana agar pariwisa Natuna bisa dikembangkan.
“Boleh-boleh saja orang mahu bilang apa. Bentuk kacamata setiap orang sudah pasti berbeda-beda,“ ujar Erson.
Terkait lahan, Erson menyebut bukan wewenang pihaknya, karena itu, pemilik lahan bebas menjual dengan siapapun ia suka. “Kalau menjual itu, hak pribadi pemilik tanah, pemerintah tidak boleh melarang. Tapi untuk destinasi yang akan menjadi icon. Kita sudah punya konsep, masyarakat akan dilibatkan. Kita tawarkan kepada perusahaan, sesuai dengan nama pemiliknya. Nanti akan disiapkan, untuk kita tawarkan ke BUMN yang bergerak dibidang pariwisata,“ sebut Erson.
Sejauh ini, lajut Erson sudah ada beberapa titik lokasi wisata unggulan yang siap di tawarkan. “ Konsepnya semua pemilik tanah kita sarankan tidak boleh menjual. Mereka dilibatkan sebagai investasi. Misalnya, si A punya tanah 4 hektar, dihargai selama beberapa tahun. Nanti setiap tahunnya mereka bisa memperoleh hasil. Jadi mereka kita libatkan sebagai pelaku didalamnya. Nah, konsep ini yang akan kita tawarkan kepada masyarakat “ terang Erson.
Namun kata Erson, tidak terlepas dari keputusan pemilik lahan itu sendiri. Sebab pihaknya hanya sebatas perpanjangan tangan. Berada diantara investor dan pemilk lahan. “Nah, sebenarnya ini peluang besar masyarakat. Tapi kalau misalkan masyarakat mahu menjual, iya silakan. Mungkin nanti kita dari Dinas Pariwisata hanya menjembatani saja. Jadi kalau mereka ingin menjual itu, tidak ada masaalah, justru dengan dia menjual investor sudah membeli. Tapi kalau dia membangun lebih bagus lagi. Cuma kita menyarankan kepada masyarakat sebaiknya jangan menjual “ imbuh Erson.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk dapat menjaga wisata unggulan itu, kata Erson adalah mendata siapa saja nama pemilik lahan. “Contoh, seperti di Batu Kasah, Camat bersama Kades sudah mendata. Kita fokus areanya 500 hektar. Jadi nama siapa saja yang masuk dalam area 500 hektar ini. Kemudian dibuat rincian untuk si A berapa, si B berapa, si C dan seterusnya berapa. Hasil pendataan itu, akan kita adakan pendekatan. Kita akan panggil si A, terus kita tanya mahunya apa. Mereka mahu atau tidak kalau tanahnya disewakan dalam waktu yang lama. Namanya orang bisnis, investor biasanya akan berupaya mencari modal awal itu, sekecil-kecilnya. Jadi tergantung kedua belah pihak. Pemilik lahan menyewakan dengan harga berapa, terus investornya mahu atau tidak,“ cetus Erson.
Menurur Erson, selain pendataan, upaya lain yang dilakukan adalah memberi pemahaman kepada masyarakat pemilik lahan, tentang bisnis jangka panjang.
“Biasanya masyarakat ingin instan. Dikasih uang segepok tanahnya dilepaskan. Nah itu sih hak masyarakat. Jadi disinilah tugas kita selaku pemerintah memberikan penyadaran. Secara profesional diawal mungkin sedikit jatahnya. Tapi lama-lama semakin tahun tentu akan menjadi besar. Bahkan mungkin bisa menerima sampai tujuh turunan. Nah, ini sifatnya sosialisasi saja dari pemerintah. Kebijakan kita, hanya sebatas sosialisasi, jadi tidak bisa melarang mereka menjual. Sebab tanah itu, haknya masyarakat. Kita cuma bisa menghimbau, dan memberikan solusi,“ katanya menjelaskan.
Melalui koranperbatasan.com, Erson menghimbau agar pemilik lahan tidak mengenakan tarif yang besar untuk tahap awal pengembangan wisata kepada investor. Karena dikuatirkan investor menjadi keberatan menanamkan modalnya pada lahan tersebut.
“Dengan catatan, mereka juga tidak memasang target tinggi, seandainya investor mahu membangun ditanah tersebut. Jangan mahunya langsung meminta sekian, ini juga menghambat. Antara pemilik lahan dan investor memang harus saling mengerti. Ingat, Dinas Pariwisata dalam hal ini tidak bisa mengeksekusi. Kami tidak bisa campur tangan disitu. Kami cuma memberi pandangan, bagaimana supaya ini bisa gol,“ tegas Erson.
Lebih jauh lagi, Erson menegaskan pengembangan pariwisata tidak bisa hanya mengandalkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan saja. Kehadiran dinas-dinas lain seperti Kominfo dan Perhubungan juga sangat diperlukan.
“Pelayanan maju, Dishub juga maju ini baru akan berjalan maksimal. Perhubungan membuka jalan, dan memperbanyak armada termasuk menurunkan harga tiket. Begitu juga dengan kominfo. Kalau kami hanya sebatas pemasaran. Jadi kita ingin semuanya bekerjasama, dengan berkumpul bersama, kemungkinan akan ada target besar yang bisa dicapai. Bisa saja tahun 2020 kita sudah go internasional,“ tutup Erson. (KP).
Laporan : Amran