Penulis: admin |
MATARAM (KP),- Diam-diam di fakultas-fakultas hukum Indonesia terjadi ’permusuhan permanen antara penganut Metode Penelitian Hukum Normatif ”Murni” yang mengklaim bahwa objek studi hukum itu ’terbatas’ norma/hukum positif (pendekatan monodispliner) dengan Metode Penelitian Hukum Empiris (Sosio-Legal) yang melihat hukum secara kritis dan juga melihat bekerjanya hukum dalam kenyataan di masyarakat sehingga pendekatannya interdisipliner.
Hal itu dikemukakan Dr. Widodo Dwi Putro dalam seminar “Perselisihan Metode Penelitian Hukum Normatif dan Metode Hukum Empiris” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Mataram, Kamis (17/1). Seminar yang diselenggarakan Taman Metajurdika dan Forum Komunikasi Mahasiswa Magister Hukum Unram juga menghadirkan Prof. Amiruddin dan dihadiri kurang lebih 100 akademisi Unram.
Widodo Dwi Putra mengemukakan, dikotomi metode normatif dan empiris, menyebabkan dua metode itu selalu saling berlawanan dan menutup diri untuk tidak saling bekerja sama. Akibatnya, perkembangan Ilmu Hukum cenderung stagnan. “Perselisihan metode mengeras seolah-olah menjadi perselisihan ideologi, sehingga saling “mengharamkan” metode yang lain, pada gilirannya membuat ilmu hukum menjadi kerdil,” tegasnya.
Dosen hukum “konservatif”, katanya cenderung mengajarkan metode penelitian hukum pada mahasiswa membatasi objek penelitian hanya pada peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Akibatnya, kalau ada dosen fakultas hukum yang mengajarkan metode penelitian dengan melihat hukum bukan sebagai suatu yang given melainkan mendalaminya secara kritis terhadap kepentingan yang terkandung dibalik substansi norma hukum dan juga meneliti implikasinya pada masyarakat justru dianggap “murtad”.
Dalam pandangannya, disadari atau tidak, pendidikan hukum yang konservatif memiskinkan ’daya nalar’ sarjana-sarjana hukum di Indonesia. Para sarjana hukum yang terjun pada dunia praktik cenderung hanya bisa menerapkan hukum, tapi nyaris tidak ada yang tertarik memikirkan pengembangan paradigma hukum dalam praktik hukum. Salah satu contoh adalah stagnasi dalam praktik hukum, seperti sedikitnya putusan-putusan hakim yang dapat dikategorikan sebagai landmark decision (putusan yang menjulang sehingga menjadi tonggak sejarah) guna memperkaya perbendaharaan yurisprudensi. Bahkan, tidak sedikit putusan-putusan yang dinilai masyarakat justru melukai rasa keadilan seperti putusan Budi Pego, Nuril, Prita, dan sebagainya.
Sementara metodologi penelitian hukum yang konservatif, berusaha menjaga kemurnian hukum, menolak bekerjasama dengan ranah ilmu lain (misalnya dengan ilmu-ilmu sosial), hingga mempermasalahkan pada wilayah yang paling teknis seperti menolak penelitian atas “data” dan beranggapan yang diperlukan adalah analisis ilmiah terhadap “bahan hukum” (peraturan perundang-undangan dan putusan hakim). (Lihat, Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, 2005, hal. 216 – 217. Lihat juga, Peter Mahmud, Penelitian HUkum, 2005, hal. 36 dan 141.)
“Apabila fakultas hukum tetap bertahan dengan segala sikap konservatifnya dan tidak membuka diri bekerjasama dengan ranah ilmu lain (interdisipliner), maka dalam fase disrupsi dan revolusi 4.0 ini maka dalam waktu yang tidak lama peran profesi hukum dapat tergantikan oleh robot kecerdasan,” tegas Widodo.
Dapat dipastikan, korban pertama yang tergilas oleh robot kecerdasan adalah para sarjana hukum yang hanya mengandalkan hafalan peraturan perundang-undangan. Potensi korban kedua, pekerjaan hukum yang bersifat teknis seperti menyusun kontrak juga akan mudah digantikan robot kecerdasan. Para pihak yang berkontrak cukup dengan bantuan robot kecerdasan, dapat menyusun kontrak bisnis secara mandiri dalam aplikasi internet di depan komputer. Notaris tidak lagi dibutuhkan untuk membuat kontrak. Perusahaan juga tidak lagi mempekerjakan orang untuk divisi hukum.
Ia kembali mengingatkan, apabila fakultas hukum masih bersikap konservatif maka semakin tertatih-tatih mengejar pergerakan zaman yang begitu cepat. Ranah penelitian dan big data justru dikuasai oleh korporasi raksasa yang orientasinya lebih kuat hasrat komersialisasnya dibanding dunia kampus yang masih mempunyai unsur pengembangan akademis dan pengabdian masyarakat. Jika itu terjadi, fakultas hukum bersiap-siap menjadi museum dan masa depan ilmu hukum dikendalikan dan dikuasai korporasi raksasa.
Fakultas Hukum Terancam Jadi Museum
Gejala yang terjadi belakangan dalam penelitian, kegiatan penelitian ilmiah dan akademik dilakukan sekedar sebagai formalitas. Kurang terasa ‘passion’ sebagai peneliti yang mencari dan menyingkap pendalaman kebenaran. Yang lebih terasa adalah semangat berburu dana penelitian, dan memperoleh nama besar di dunia penelitian ilmiah dan akademik.
Sementara pemerintah dalam hal ini Ristek Dikti lebih mendorong berlomba-lomba menerbitkan jurnal terindeksi scopus dibanding mendorong penemuan dan inovasi. Pola berpikir ini mendangkalkan seluruh kegiatan penelitian ilmiah. Kedepan, mendesak mengembalikan sprit penelitian yakni pertama, semangat penelitian adalah pencarian dan pendalaman kebenaran. Kedua, penemuan-penemuan mendorong lahirnya paradigma baru.
Terlebih lagi, penelitian hokum berbasis data masih dikuasai dan dikapiltalisasi oleh perusahaan raksasa, yakni Lexis Nexis dan Westlaw. Dua vendor raksasa ini mengelola data base yang memuat segunung rincian kasus dan sering menjadi titik awal penelitian hukum. Mereka berfungsi sebagai mesin pencari dan menawarkan sarana analisis canggih. Salah satu bidang yang menarik dari praktek dan riset Internet adalah Big Data.
Big Data dianggap sebagai teknologi dan arsitektur generasi baru, dirancang agar organisasi dapat mensarikan nilai dari volume berbagai data yang sangat besar dengan capture, penemuan, dan/atau analisis dengan kecepatan tingg. Memang belum banyak pekerjaan hukum yang mengunakan Big Data. Susskind, penulis buku Tommorow’s Lawyers: And intruduction to Your Future memperkirakan bahwa pada suatu saat akan terbukti bahwa Big Data punya makna mendalam bagi pengembanan hukum masa depan.
Masyarakat pengguna jasa hukum cukup mengandalkan cakram disk berisi miliaran gygabite data, yang didalamnya tersimpan jutaan kasus dengan solusinya, sehingga tinggal klik, maka dalam sekejap semua pertanyaan hukum terjawab dalam hitungan detik. Dengan menggabungkan hasil penelusuran data, kita akan menemukan masalah hukum dan kekhawatiran ancaman yang mengganggu masyarakat tertentu; dengan menganalisis database dapat membantu regulator atau legislator membuat rancangan peraturan yang mampu mengantisipasi permasalahan hukum masa depan.
Revolusi industri 4.0 telah mengubah cara orang-orang berinteraksi dengan hukum. Di bidang hukum, firma-firma hukum, pengadilan, kepolisian dan kejaksaan, akan semakin tergantung dan membutuhkan asupan Big Data. (Press Release).