Penulis: admin |
BATURAJA (KP),- Ada pendapat menarik dari CEO Sumatera Ekspres Grup, M. Muslimin, SH, M.H, terkait kebebasan Pers. Menurutnya, kebebasan Pers yang sesungguhnya hanya ada pada pemerintahan Presiden ketiga RI, BJ Habibie.
Bukan hanya secara regulasi, praktiknya pun benar-benar bebas, ini yang diungkapkan Muslimin ketika mengikuti Forum Diskusi Grup (FDG), di Sekretariat PWI Sumsel, Jalan Supeno, Rabu, 18 September 2019.
Muslimin sepakat bahwa kran kebebasan Pers sudah terbuka sejak diterbitkan UU tentang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Didalamnya berisi ancaman atau sanksi bagi siapa saja yang menghalangi tugas wartawan dikenakan sanksi denda maksimal Rp 500 juta dan pidana kurungan. “Tetapi, kembali lagi. Apakah sekarang kita masih bebas dan sepenuhnya merdeka?,” tanya Muslimin.
Keterkaitan soal bisnis, lanjut Muslimin maka kemerdekaan Pers juga ada keterbatasan. Kebijakan pemerintah dan regulasi terkaitan periklanan Pileg dan Pilpres yang diatur oleh Peraturan KPU. Ternyata organisasi Pers dan lainnya tidak mengadakan reaksi,” tegas Muslimin.
Kebijakan kementrian keungan soal nol rupiah anggaran periklanan. Kebijakan pajak kertas yang tinggi. Semua ini sebenarnya ancaman kebebasan Pers. “Kemudian Serikat Perusahaan Pers (SPS) juga kemungkinan dalam waktu dekat ada ancang-ancang membahas dua dekade UU kemerdekaan Pers. Ini perlu kita cermati, apakah ada upaya kearah merevisi UU Pers itu (No 40 Tahun 1999),” pungkasnya.
Dulu sebelum keluar UU Pers, pelaku Pers khususnya wartawan, diawasi dengan ketat bahkan ada yang “menjaga” di kantor mengecek berita yang akan terbit jika berkaitan dengan oknum pejabat pemerintah.
Ketua PWI Sumsel, H Firdaus Komar, S.Pd, M.Si, yang langsung memimpin diskusi menjelaskan kegiatan ini digelar untuk mengenang jasa Almarhum BJ Habibie yang belum lama ini dianugerahi sebagai Bapak Kemerdekaan Pers oleh PWI Pusat.
“PWI Pusat sudah menganugerahi Pak Habibie sebagai Bapak Kemerdekaan Pers. Oleh karena itu, saat ini untuk mengenang jasa beliau kita melaksanakan diskusi ini. Semoga menghasilkan ide-ide yang baik untuk keberlangsungan kebebasan Pers ini,” ujar Firdaus.
FDG ini, lanjut Firdaus, merupakan agenda rutin dan akan diadakan secara berkala dengan topik yang berbeda beda. Bahkan, diwaktu yang akan datang FDG akan diadakan di markas Graha Pena Sumatera Ekspres.
Terakhir sebagai rangkuman diskusi, wartawan senior Maspril, menggaris bawahi terkait wacana ada kemungkinan upaya para pihak yang akan merevisi UU Pers. Soalnya kata Maspril, filosofi UU Pers ini memang berbeda. Yakni untuk menghindari intervensi pihak pemerintah, maka satu-satunya UU yang tanpa aturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP) serta produk turunan lainnya adalah UU Pers itu. Maka, pengelolaannya melalui Dewan Pers, sesuai amanah UU Pers.
Soal kekerasan terhadap Pers, memang masih ada kata Maspril, tetapi angkanya berdasarkan Dewan Pers cenderung menurun. Justeru yang perlu dikaji ulang dan sekarang membelenggu atau membatasi ruang gerak wartawan adalah perusahaan Pers itu sendiri. Saat ini tugas dan fungsi wartawan sudah berbeda dengan gaya tempo dulu.
“Wartawan sekarang disamping tugas jurnalistiknya, mereka juga dibebani dengan mencari pendapatan untuk menopang keberlangsungan hidup media tempat dia bekerja. Kalau dulu, tugas dan fungsi wartawan murni hanya mencari dan membuat berita. Tugas mencari pendapatan perusahaan adalah tugas manajemen,” papar Maspril.
Menarik lainnya, momentum penghargaan Bapak Kemerdekaan Pers untuk BJ Habibie ini, kata Maspril, sebaiknya PWI Sumsel mengusulkan agar hari lahirnya UU Pers dijadikan Hari Kemerdekaan Pers Nasional dan tentu tidak bertentangan dengan Hari Pers Nasional. “Kita berharap, PWI Sumsel yang menjadi motor penggerak usulan ini,” katanya lagi.
Peserta diskusi diantaranya Wakil Ketua PWI Sumsel Bidang Organisasi, Anwar SY Rasuan, Sekretaris PWI Sumsel, Dwitrie Kartini, Wakil Sekretaris, Suprapto. Kemudian Ketua PWI OKU, Purwadi, serta pengurus PWI Sumsel lainnya termasuk undangan. (KP).
Pewarta : Syahril