Penulis: admin |
NATUNA – Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat, Forum Masyarakat Miskin (LSM Formis) Kabupaten Natuna, Ronny Kambey, menyayangkan perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004, ke UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah yang mengatur kewenangan daerah.
Aturan itu, kata Ronny terkesan dibuat sesuka hati, karena sedikitpun tidak berpihak kepada rakyat. Khususnya bagi daerah maritim kepulauan seperti Kabupaten Natuna.
Sejak diberlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, membuat kewenangan pengelolaan perairan laut oleh pemerintah kabupaten/kota menjadi berkurang.
Wilayah zonasi sejauh 0-4 mil, yang semula dikelola pemerintah kabupaten/kota, sekarang dikelola oleh pemerintah provinsi, sehingga membuat zonasi kewenangan pemerintah provinsi menjadi 0-12 mil. Sedangkan kewenangan pengelolaan wilayah laut lebih dari 12 mil dilakukan oleh pemerintah pusat.
“Kalau cuma segitu, nelayan kita tidak bisa melaut. Artinya, pusat tidak pernah memikirkan nasib rakyat Natuna. Bisa jadi mereka membuat UU itu, asal-asalan,“ cetus Ronny.
Selain kewenangan laut, Ronny juga menyayangkan tindakan pemerintah pusat yang telah mengambil alih DBH Migas Natuna. Tindakan itu, kata Ronny sama saja mencipatakan pengangguran baru di daerah, khususnya Natuna. Karena daerah tidak lagi memiliki kegiatan-kegiatan sebagaimana mestinya.
“Jadi apa yang mahu dinikmati oleh masyarakat dari hasil daerahnya. Ada hasil bumi, tapi tidak bisa dinikmati. Artinya Pemerintah Pusat suka melihat Natuna susah. Karena tidak punya pekerjaan, dan penghasilan tetap,“ ujar Ronny.
Seharusnya, kata Ronny, aturan dibuat mengarah pada terciptanya lapangan kerja baru disetiap daerah. Bukan melahirkan aturan berbelit-belit dan membingungkan rakyat.
“Nah, sekarang apa yang mahu kita buat untuk Natuna kedepan, sementara kewenangan telah diambil alih. Bagaimana mungkin perekonomian rakyat akan berkembang. Selama ini presiden bicara tentang kerja. Terus apa yang mahu kita kerjakan, kalau semuanya dikendalikan pemerintah pusat,“ imbuh Ronny.
Mengambil alih kewenangan, menurut Ronny sama saja membunuh perekonomian rakyat. Sebab sumber penghasilan masyarakat di Natuna masih bergantungan dengan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas dan kegiatan-kegiatan pemerintah daerah.
“Dulu kita punya DBH, masih ada juga kegiatan. Walaupun kegiatan pemerintah daerah. Kita masyarakat juga ikut menikmati kegiatan-kegiatan itu. Sekarang semuanya dikendalikan oleh pemerintah provinsi. Sementara daerah hanya melihat, menonton, orang luar bekerja. Apakah itu, yang pemerintah pusat inginkan,“ beber Ronny.
Usai meneguk segelas kopi panas, di Sekretariat koranperbatasan.com Sabtu, 10 Februari 2018, dengan nada sedikit lantang, Ronny memastikan UU tersebut telah mengkerdilkan daerah. Seharusnya UU dibuat tidak mengkerdilkan rakyat.
“Sebenarnya tidak boleh begitu. Kalau begitu, siapapun bupatinya daerah sulit berubah. Karena mereka tidak punya anggaran sendiri. Jadi apa yang mahu dikembangkan. Namanya saja daerah maritim, tapi pekerjaan-pekerjaan dibidang kemaritiman semua dikelola oleh pemerintah pusat. Apakah itu disebut kemajuan,“ pungkas Ronny.
Menurut Ronny, dengan diberlakunya UU tersebut, pemerintah daerah tentu saja tidak bisa berbuat banyak. Karena anggaran telah diatur oleh pemerintah pusat, melalui Satker di pemerintah provinsi.
“Anggaran masuk ke Kas Daerah hanya untuk pegawai, dan kegiatan-kegiatan rutin kantor. Seharusnya pemerintah pusat tidak seperti itu, pemerintah pusat seharusnya bantu mengembangkan potensi di daerah. Saya rasa mereka bikin UU tidak berfikir kedalam,“ sesal Ronny.
Ronny menegaskan, aturan tersebut tanpa disadari telah merusak rasa keadilan bagi rakyat. Sebab, ada pengkerdilan terhadap daerah pada UU tersebut.
“Betul-betul kita dikerdirkan, kebebasan kita telah diambil alih. Padahal masih banyak masyarakat pagi makan, sore tidak makan. Walaupun anggaran desa lumayan besar. Tetapi tidak semua masyarakat menikmatinya. Nah, sekarang kalau ada persoalan kita mahu tanya sama siapa. Menurut saya, ini jadi penghalang kemajuan daerah,“ tegas Ronny.
Ronny menyebut, daerah tidak akan pernah maju jika kewenangannya dirampas secara paksa melalui sebuah aturan. Daerah akan maju jika daya beli masyarakatnya tinggi. Termasuk arus keluar masuk orang dan barang, bukan mengambil alih kewenangan daerah.
“Sarana prasarana memadai yang sangat kita perlukan. Jadi pemerintah pusat harus mempertimbangkan kembali aturan tersebut. Mereka harusnya berfikir bagaimana caranya, agar daerah bisa berkembang. Mereka seharusnya membangun infrastruktur memadai, seperti bandara, pelabuhan-pelabuhan, termasuk jalan penghubung antar kecamatan,“ tutup Ronny. (KP).
Laporan : Amran