Penulis: admin |
Penulis : Rifky Alaf Haykal
Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Prodi Ilmu Kelautan (180254241026)
DUGONG DUGON atau biasanya disebut ikan duyung adalah salah satu mega fauna maritim dan satu-satunya mamalia laut yang merupakan herbivora. Dugong memakan lamun (seagrass) sebagai makanan utamanya. Keseimbangan ekosistem laut sangat ditentukan oleh kehadiran dugong dan lamun, karena dengan masih ditemukannya kedua biota laut ini dapat dipastikan laut masih bersih dari polutan.
Dugong juga merupakan hewan yang memiliki status konservasi, yang artinya dugong termasuk hewan yang dilindungi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya serta UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Secara internasional, dugong juga terdaftar dalam “Global Red List of IUCN” dengan status Rentan (Vulnerable/VU).
Dugong juga masuk dalam Appendix I CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang berarti bahwa bagian tubuhnya haram untuk diperdagangkan dalam bentuk apapun.
Sangat memprihatinkan ternyata masih ada masyarakat lokal yang mengonsumsi dugong. Hal ini pernah terjadi di Desa Penaga dan Desa Busung, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Dugong mati yang terdampar di pesisir pantai, dijadikan bahan makanan oleh masyarakat lokal. Minimnya pengetahuan masyarakat akan hewan konservasi yang satu ini mengakibatkan masyarakat melakukan pelanggaran terhadap undang-undang.
Kurangnya sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat dan peran dari berbagai pihak yang bersangkutan sehingga masyarakat masih tidak acuh dengan mamalia laut ini. Bahkan masyarakat sekitar pun sering melakukan penyembelihan mamalia ini untuk dikonsumsi, baik dugong yang sudah mati maupun sengaja diburu. Terkadang ketika dugong ini terjerat di jaring nelayan, hewan ini tidak dilepaskan melainkan dibawa pulang untuk dikonsumsi.
Pentingnya sosialisasi kepada masyarakat guna meningkatkan pengetahuan tentang mamalia laut ini. Hasil penelitian dari Abdullah dan Nasionalita (2018), bahwa sosialisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengetahuan dan target sosialisasi.
Dari berbagai daerah di Pulau Bintan kebanyakan dari Desa Penaga dan Desa Busung belum mengetahui bahwa dugong (Dugong dugon) merupakan hewan yang dilindungi. Hanya sebagian desa di Pulau Bintan, seperti Desa Berakit dan Desa Pengudang yang sudah mendapatkan sosialisasi tentang dugong ini. Di sini terlihat bahwa kurang meratanya sosialisasi yang diberikan dan hal ini sangat berdampak pada kelangsungan hidup mamalia laut ini.
Selain sosialisasi, konservasi juga merupakan salah satu cara upaya perlindungan serta pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Menurut UU No. 32 Tahun 2009, konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam untuk menjamin pemanfaatan secara bijaksana serta berkesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatakan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Kearifan lokal masyarakat merupakan salah satu upaya konservasi yang efektif. Kearifan lokal biasanya melibatkan tiga ranah, yaitu hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan (Sulastriyono, 2009).
Suatu upaya konservasi yang dapat diangkat, contohnya kearifan lokal dari masyarakat Kampung Kelam Pagi, Kelurahan Dompak, Tanjungpinang, Kepulauan Riau berpikir bahwa sejarah dugong berasal dari manusia. Hal itu dikarenakan dalam beberapa kali penyembelihan, struktur organ yaitu sirip dugong sekilas terlihat seperti jari-jari manusia.
Hal itu membuat masyarakat merasa kasihan dan enggan untuk menyembelih dan mengomsumsi dugong. Kearifan lokal ini harus terus dilestarikan dan dicontohkan ke masyarakat Desa Penaga dan Desa Busung sehingga ‘mendarah daging’ guna menjaga kelestarian dugong.
Kearifan lokal yang ada pada masyarakat pesisir merupakan hal yang paling berpengaruh dalam upaya konservasi dugong. Oleh karena itu, kearifan lokal ini dapat menjadi acuan pengelolaan sumberdaya pesisir. Berbagai kebijakan dan regulasi pemerintah seyogianya menjadikan kearifan lokal sebagai dasar pertimbangan dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya (Afdol et al, 2012).
Kerja sama merupakan hal dasar yang dilakukan untuk saling merangkul dalam melaksanakan upaya-upaya pelestarian mamalia ini. Kesadaran dari berbagai pihak pun juga merupakan poin terpenting. Selain itu keterbukaan dari berbagai pihak tidak luput dalam pelestarian mamalia laut yang dilindungi ini.
Pada perairan Bintan menjadi salah satu perairan yang memiliki mamalia laut langka, yaitu dugong (Dugong dugon) yang berpotensi menjadi minat baru bagi wisatawan untuk berkunjung. Hal ini dikarenakan tidak semua perairan di Indonesia atau bahkan luar negeri yang memiliki mamalia laut ini. Potensi ini sebenarnya yang bisa dijadikan peluang dalam sektor ekowisata untuk menarik perhatian wisatawan.
Mamalia laut tersebut akan menjadi daya tarik perhatian sebagian masyarakat yang ada di luar pulau maupun di dalam pulau itu sendiri. Hal ini yang mendasari dijadikannya dugong sebagai ikon pariwisata di Kabupaten Bintan seperti halnya patung dugong yang dijadikan ikon pariwisata di salah satu resort Pantai Trikora. Dari waktu ke waktu, ketertarikan masyarakat terhadap satwa laut tersebut semakin meningkat. Bukan saja sebagai objek pariwisata, dugong ini juga dijadikan buruan dan untuk dikonsumsi.
Site manager dugong and seagrass conservation Project (DSCP) Indonesia untuk Bintan, Siti Kusmiati, menyebut ketertarikan masyarakat terhadap dugong sebagai dua sisi mata uang. Berdampak positif, karena dugong semakin dijaga keberadaannya di laut. Di sisi lain, dugong terancam hilang dari perairan di sekitar Bintan. (KP).
Kiriman Pembaca Koran Perbatasan, Rabu, 29 Mei 2019