Penulis: admin |
TANJUNGPINANG, (KP),- Zifrizal menyampaikan nota pembelaan sebagai terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi alat transportasi laut Dinas Pendidikan Kabupaten Lingga, di Pengadilan Negeri Tipikor Tanjungpinang, Senin (5/11/2018).
Dalam persidangan, ketua lelang Kelompok Kerja (Pokja) lII Unit Layanan Pengadaan Kabupaten Lingga, Kepri itu tak dapat menahan diri. Lembar demi lembar tak henti Ia bacakan di hadapan majelis hakim yang memimpin jalannya persidangan. Ia menangis, suaranya bergetar dan cukup menggema di ruang utama persidangan tersebut.
Sebanyak 22 lembar, pleidoi pribadinya hampir tuntas dibaca. Diakhir penutup pleidoi, Zefrizal meminta izin agar dapat melantunkan tasbih salawat. Tasbih salawat pun bergema saat itu. Namun sebelum hal itu terjadi, Berikut petikan kesimpulan pleidoi Zifrizal :
Yang Mulia Majelis hakim
JPU yang saya hormati
Dan keluarga, teman, serta pengunjung Sidang khususnya istri tercinta. Dari semua uraian, Izinkan saya membacakan pleidoi ini.
“Tuduhan JPU Tidak Benar”
1) Bahwa saya dituntut berdasarkan pasa] 3 UU No.31 Tahun 1999,10 UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tuduhan bertujuan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan yang merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara.
Sesuai dengan fakta persidangan tidak ada satupun saksi dan barang bukti yang terbukti bahwa saya menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan saya sebagai Ketua Pokja lelang hal itu dibuktikan saya hanya melakukan proses pelelangan sesuai dengan SOP Perpres 54 tahun 2010 serta perubahannya. Tidak ada pengaturan, persekongkolan, gratifikasi, suap apapun dan dari pihak manapun (tidak ada mensrea) dan ini mumi kesalahan Administrasi, apalagi seperti hal yang dituduhkan JPU, mempunyai niat memperkaya orang lain itu tidaklah benar.
Niat dan tujuan saya sesungguhnya hanyalah untuk membangun Kabupaten Lingga dengan kemampuan dan kompetensi yang saya miliki untuk menolong anak-anak yang ada di pulau terluar di Kabupaten yang ingin bersekolah ke pulau-pulau karena saya dapat merasakan bagaimana perasaan anak-anak yang putus sekolah dikarenakan sulitnya alat transportasi untuk menjangkau tempat sekolah mereka seperti anak-anak yatim yang kami adopsi pun pernah mengalami hal-hal seperti yang dirasakan oleh anak-anak pulau yang ada di Kabupaten Lingga.
“Perintah Presiden diabaikan Kejari Lingga”
2) Bahwa perintah Presiden Joko Widodo pada poin 2 sudah jelas bahwa kesalahan Administrasi tidak boleh dipidana. Aturan BPK jelas mana pengembalian dan yang bukan. Akan tetapi perintah Presiden pun diabaikan oleh Kejari Negeri Lingga.
“Strategi dan Kebohongan JPU Terungkap”
3) MoU 3 (tiga) Institusi yang menurut JPU sudah dilaksanakan dengan niat baik dan telah memberikan kesempatan 60 hari pada Inspektorat Lingga untuk menyelesaikan permasalahan ini adalah merupakan strategi dan kebohongan yang disampaikan oleh JPU yang sangat keliru karena dalam MoU tersebut sangat jelas pasal 7 ayat 5 yang disampaikan oleh JPU bunyinya:
– Ayat (5) Kesalahan administrasi yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) mempunyai kriteria sbb. Terdapat kerugian Keuangan Negara/Daerah dan telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima oleh Pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK.
Akan tetapi, fakta dipersidangan bahwa Kejari Lingga meminta kepada Inspektorat untuk melakukan pemeriksaan permintaan keterangan kepada saya dan yang terkait dalam pekerjaan tersebut dalam waktu seminggu (tanggal 26 Januari 2018) dan sudah mengirimkan kesimpulan pemeriksaan/permintaan keterangan tersebut pada tanggal 31 Januari 2018 yang dalam persidangan disebutkan oleh saksi Drs. Azmi karena ada persyaratan yang kurang yang diminta oleh Kejari Lingga.
Ini adalah strategi dan kebohongan yang dilakukan Kejari Lingga karena surat kesimpulan permintaan keterangan itu dijadikan surat rekomendasi bahwa lnspektorat sudah melakukan hal-hal sebagimana poin pasal 7 ayat 5 (b), yaitu telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesi oleh APIP atau BPK. Dan yang lebih ironisnya lagi kerugian Negara dihitung berdasarkan refrensi perkiraan harga dari Tenaga Ahli lTS yang laporannya dibuat tanggal 26 Maret 2018 dan yang lebih aneh lagi bahwa di surat Dakwaan dan Tuntutan dibuat pada Tanggal 7 Mei 2015.
Ada apa ini? Ini menjadi pertanyaan besar untuk seluruh Sarjana Hukum di Indonesia dengan penetapan saya sebagai tersangka Tanggal 28 Maret 2018. Apakah ada unsur sengaja untuk direkayasa dari tahun 2015 meskipun pelaksanaannya terjadi di 2017. Setidaknya sesuai keterangan saksi dari Dinas pendidikan bahwa pekerjaan ini tertunda di 2016, sehingga rekayasa ini sudah dibuat ditahun 2015. Kalaupun JPU merasa ini adalah suatu khilafan dalam hal pengetikan ataupun kurang telitinya JPU dalam mengevaluasi surat dakwaan dan tuntutan rasanya tidaklah mungkin karena kalau khilaf hanya dilakukan sekali saja akan tetapi hal ini terjadi berulang kali lebih tepatnya 4 kali ,2 kali di dalam dakwaan yaitu di dakwaan primer dan dakwaan subsidier kemudian pada saat surat tuntutan yang dibacakan oleh JPU tertanggal 24 oktober 2018 pada pengetikan yang ada dalam dakwaan maupun tuntutan JPU, ini perbuatan yang tidak bisa dimaafkan secara hukum dakwaan dan tuntutan JPU bisa dlanggap kabur tidak cermat. Allahu Akbar.
“Hal Yang Keliru”
4) Bahwa saya dijadikan Terdakwa dalam perkara ini adalah hal yang keliru karena kesilapan kesalahan Administrasi yang ditimbulkan menyebabkan saya duduk sebagai Terdakwa, padahal seharusnya kesalahan administrasi tidak perlu dipidanakan sesuai dengan UU No.30 Tahun 2014 pasal 20 ayat 1 dan 8 Perintah Presiden Joko Widodo Tanggal 19 Juli 2016 di Istana Negara pada Hari Selasa tanggal 19 Juli Tahun 2016 yang dibacakan pada saat pidato Presiden Republik Indonesia didepan Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kepolisian Daerah seluruh Indonesia.
“Tidak Punya Niat Untuk Lakukan Korupsi”
5) Bahwa saya sebagai Terdakwa tidak mempunyai niat untuk melakukan korupsi, melainkan karena kesilapan dalam proses administrasi yang bukan unsur kesengajaan dan kesalahan pada pelelangan bukanlah merupakan ranah hukum pidana sepanjang tidak terbukti adanya perbuatan mansrea yang dilakukan seperti penyuapan, gratifikasi, persekongkolan, pengaturan dan pemalsuan dokumen maka kesalahan hanya bersifat administrasi.
“JPU Abaikan Surat Perintah Jaksa Agung”
6) Bahwa Kejaksaan Agung RI melalui Kajati membuat surat agar mempedomani peraturan Jaksa Agung RI No.014/A/JA/11/2016 tentang Mekanisme kerja teknis dan Administrasi Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan untuk memerintahkan kepada para Kajari/Kacabjari di Wilayah Hukum masing-masing untuk tidak melakukan pemanggilan/puldata/pulbaket terhadap :
- Pelaksanaan kegiatan proyek yang telah atau sedang dilakukan pendampingan oleh TP4D sebelum berkoordinasi dengan APIP, termasuk dalam menindaklanjuti hasil temuan Inspektorat baik dari Kementerian, Pemerintah Daerah maupun BPK RI.
- Kegiatan Proyek pembangunan lainnya yang masih dalam tahap pelelangan, penentuan pemenang pekerjaan atau masa pemeliharaan.
Disini jelas sekali bahwa JPU terlalu memaksakan dalam menetapkan saya sebagai tersangka dan telah pula mengabaikan surat perintah yang disampaikan oleh Jaksa Agung.
“Tuntutan JPU Tidak Mengacu Tabel Pendoman Tuntutan Pidana Yang Ditandatangani Jaksa Agung Muda”
7) Terkait dengan tuntutan yang telah diajukan kepada saya adalah tidak sesuai dan tidak mengacu pada Tabel Pedoman Tuntutan Pidana Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 J o. UU No.20 Tahun 2001 dalam lampiran II dan Jaksa Agung Republik Indonesia yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Efendy an. Jaksa Agung Republik Indonesia bahwa range besaran Kerugian Negara 0 s/d 1 Milyar faktor uang pengembalian 75 % s/d 100 % dan faktor memperkaya diri sendiri 0 s/d 25 % maka tuntutan pidananya 1 Tahun 6 bulan s/d 2 Tahun, JPU sudah membacakan bahwa tidak ada unsur memperkaya diri sendiri dan tidak ada uang pengembalian, akan tapi tetap saja dituntut dengan sewenang-wenang dengan tuntutan 2 tahun 6 bulan, sungguh terlalu banyak kedzoliman yang telah dilakukan JPU kepada saya.
“T4PD Dihentikan Lebih Awal”
8) Bahwa JPU menetapkan saya sebagai Terdakwa karena kesalahan Admmnstrasi saya diproses awal/hulu menyebabkan Kerugian Keuangan Negara. Bahwa sebelum proses pelelangan ada proses penyampaian Dokumen lelang oleh KPA kemudian adalagi proses sebelumnya yaitu proses pendampingan oleh TP4D Kajari Lingga yang kemudian dihentikan kurang lebih satu (1) bulan sebelum proses lelang dimulai, dan kemudian ada proses Pengumuman Rencana Umum Pengadaan sebelum proses Pendampingan. Kalau kesalahan Administrasi yang merupakan proses awal menurut Jaksa menyebabkan Kerugian Negara, rasanya tidak berlebihan pula bagi saya jika proses penghentian pendampingan TP4D terhadap kegiatan ini merupakan proses yang lebih awal menyebabkan Kerugian Negara, karena TP4D merupakan tongkat penuntun untuk Pemda dalam hal ini Dinas Pendidikan dan seluruh yang terlibat dalam kegiatan ini agar jangan salah jalan malah mengambil kembali tongkat tersebut yang menyebabkan terjadinya hal ini.
“Silap dianggap Kesalahan oleh JPU”
9) Sekali lagi saya merasa gagal faham dengan pola pikir dan pemahaman JPU dalam menetapkan saya sebagai Terdakwa karena kesilapan saya dianggap sebagai suatu kesalahan padahal silap dan salah itu dua hal yang berbeda. Silap belum tentu salah, silap itu terjadi karena keteledoran atau ada unsur ketidaksengajaan. Sedangkan salah itu ada unsur kesengajaan yang dilakukan. Dalam hal ini saya sudah mengakui di pengadilan saya silap bukan saya salah. Kita semua tahu tidak ada manusia satupun yang luput dari kesilapan itu dan tidak ada niat sedikitpun bagi saya untuk sengaja melakukan kesilapan ini, bahkan JPU sendiri sudah tau beberapa kali dalam pemeriksaan terhadap saya sebagai tersangka saya sudah sering menyampaikan kepada JPU tentang klarifikasi saya akan hal ini tapi JPU tidak pernah menggubrisnya malah mereka terus mengejar kesilapan yang saya lakukan untuk menjadikan saya sebagai Terdakwa.
“Tidak Ada Alasan Bagi JPU”
10) Bahwa tidak ada alasan bagi JPU untuk menjadikan saya sebagai Tersangka karena pada saat terjadi pemeriksaan pada Inspektorat, bahwa hasil temuan menyatakan kesalahan administrasi bukan kesalahan yang menyebabkan kerugian Negara, apakah dengan temuan ini belum cukup alasan bagi JPU untuk tidak menjadikan saya sebagai Tersangka/Terdakwa.
“Berdasarkan Pasal 140 KUHAP”
11) Bahwa saya telah memohon Kepada JPU melalui Majelis Hakim Yang Mulia untuk tidak melanjutkan ke penuntutan ini berdasarkan pasal 140 KUHAP karena berdasarkan fakta persidangan menurut saya tidak terdapat cukup bukti dan perkara ini bukan merupakan tindak pidana hal, ini pun tidak disetujui dan diabaikan oleh JPU.
Dengan ini, kata Zifrizal, memohon kepada Majelis Hakim agar membebaskan saya dari dakwaan dan tuntutan JPU, karena tuntutan JPU adalah dakwaan yang kabur dan batal demi hukum. “Mohon yang Mulia Majelis Hakim agar menjatuhkab putusan dalam perkara ini yaitu putusan bebas kepada saya,” ucap Zifrizal di akhir pembacaan pleidoinya. Sebagaimana diketahui, sidang dilanjutkan pekan depan dengan agenda Reflik dari Jaksa Penuntut Umum. (Indra/Sim).